
Pemberlakuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru yang akan efektif pada 2026, serta pembaruan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), menandai fase penting reformasi hukum pidana Indonesia. Reformasi ini untuk menggantikan sistem hukum warisan kolonial Belanda dengan hukum nasional Indonesia yang berakar pada nilai Pancasila dan kebutuhan masyarakat Indonesia modern. Muncul tantangan mendasar yang terus diperdebatkan para pakar hukum, yakni bagaimana menyeimbangkan tuntutan ketertiban hukum dengan perlindungan kebebasan warga negara. Dalam konteks negara hukum demokratis Indonesia ini, hukum pidana tidak boleh hanya menjadi alat kontrol sosial, melainkan juga instrumen perlindungan hak asasi manusia.
Sejumlah pakar hukum pidana, seperti Muladi dan Barda Nawawi Arief, menegaskan bahwa pembaruan hukum pidana harus berpijak pada paradigma keadilan substantif, bukan semata-mata kepastian hukum formal. KUHP baru memang memperkenalkan pendekatan yang lebih modern dengan menekankan pidana alternatif, keadilan restoratif, dan proporsionalitas pemidanaan. Namun, tanpa hukum acara pidana yang sejalan, cita-cita tersebut berpotensi kehilangan makna. KUHAP sebagai hukum formil memegang peran kunci karena di sanalah ditentukan bagaimana kekuasaan negara dijalankan terhadap warga, mulai dari penyelidikan, penangkapan, penahanan, hingga putusan pengadilan. Jika hukum acara gagal melindungi hak tersangka dan terdakwa, maka hukum pidana materiil yang progresif justru dapat berubah menjadi alat represi.
Kekhawatiran utama para akademisi dan praktisi hukum terletak pada potensi perluasan kewenangan aparat penegak hukum tanpa mekanisme pengawasan yang memadai. Todung Mulya Lubis, misalnya, secara konsisten mengingatkan bahwa hukum acara pidana harus berorientasi pada prinsip due process of law, bukan sekadar efisiensi penegakan hukum. Dalam negara demokrasi, efektivitas tidak boleh mengorbankan kebebasan, karena sejarah telah menunjukkan bahwa kekuasaan hukum yang tidak dibatasi cenderung melahirkan kesewenang-wenangan. Oleh karena itu, KUHAP baru dituntut untuk memberikan jaminan kuat terhadap hak atas bantuan hukum, praduga tak bersalah, kontrol yudisial terhadap tindakan koersif, serta mekanisme keberatan yang efektif bagi warga negara.
Negara Indonesia juga memiliki kewajiban konstitusional untuk menjaga ketertiban umum dan melindungi masyarakat dari kejahatan. Pakar hukum tata negara seperti Jimly Asshiddiqie menekankan bahwa negara hukum tidak identik dengan negara yang lemah, melainkan negara yang kuat namun dibatasi oleh hukum. Dalam kerangka ini, KUHP dan KUHAP baru seharusnya menjadi sarana penyeimbang antara kepentingan publik dan hak individual. Ketertiban hukum diperlukan agar negara dapat menjalankan fungsi perlindungannya, tetapi ketertiban tersebut harus dibangun di atas legitimasi, transparansi, dan akuntabilitas, bukan ketakutan.
Tantangan implementasi juga tidak kalah serius. Banyak akademisi menilai bahwa problem utama hukum pidana Indonesia bukan terletak pada norma semata, melainkan pada budaya penegakan hukum. Tanpa perubahan pola pikir aparat, pelatihan yang memadai, dan pengawasan yang independen, KUHP dan KUHAP baru berisiko diterapkan dengan cara lama. Dalam kondisi demikian, pembaruan hukum hanya akan bersifat kosmetik, sementara praktik pelanggaran hak tetap berlangsung. Karena itu, peran pengacara, akademisi, dan masyarakat sipil menjadi sangat penting sebagai penjaga keseimbangan antara kekuasaan negara dan kebebasan warga.
Bahwa KUHP dan KUHAP baru merupakan ujian kedewasaan demokrasi Indonesia. Reformasi hukum pidana seharusnya tidak dimaknai sebagai upaya memperluas kontrol negara, melainkan sebagai langkah membangun sistem peradilan pidana yang adil, manusiawi, dan bermartabat. Ketertiban dan kebebasan bukanlah dua kutub yang saling meniadakan, melainkan dua prinsip yang harus dirawat secara seimbang. Tanpa kebebasan, ketertiban kehilangan legitimasi; tanpa ketertiban, kebebasan kehilangan makna. Di titik inilah keberhasilan atau kegagalan reformasi KUHP dan KUHAP Indonesia akan ditentukan.










